Kerja Keras Seorang Tukang Sampah.
Setiap hari
beliau mendorong gerobak sampah berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Untuk
mengangkut sampah yang sudah menumpuk di dapur, tanpa rasa lelah beliau setiap
hari mengerjakan tugasnya mengangkut sampah dari rumah warga. Walaupun lelah
beliau tetap bekerja demi keluarganya di kampung, Hari
itu aku memulai rutinitas pagi seperti biasa. Membangunkan si kecil, berberes
rumah kemudian memasak. Memang tak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya
kecuali mulai tercium bau tidak sedap dari tempat sampah di depan rumah.
Sudah
empat hari ini, sampah belum juga diangkut oleh petugasnya. Beberapa tetangga,
seperti Bu Yati, Bu Prapti atau Tante Mega sudah mulai merisaukan kondisi RT
kami. Maklumlah, sampah yang menggunung membuat kesehatan kami terganggu.
Apalagi Tante Butet, sejak pagi tadi sudah memulai ceramahnya saat kami membeli
sayur dari Pak Satiri.
"Kenapa aja si Pak Utomo?
Sudah empat hari sampahnya kok ga diangkut-angkut ya?" sungut Tante
Butet.
Semenjak
aku tinggal di perumahan kami, Pak Utomo sudah bertugas sebagai tukang sampah.
Bisa dibilang aku termasuk orang baru, maklum kami baru tinggal sekitar empat
tahun di sini. Sementara Pak Utomo sudah setia menjadi tukang sampah di
perumahan kami sekitar 10 tahun, atau sejak komplek kami berdiri.
Dari
beberapa kali perbincangan dengan Pak Utomo saat aku memintanya memangkas daun
pohon belimbing sekaligus merapikan tanaman di depan rumah, aku tahu kalau ia
berusia 50-an. Pak Utomo biasa mengambil pekerjaan tambahan seperti ini dari
penghuni kompleks.
Ia sudah berkeluarga dan memiliki
dua orang anak. Anak terkecilnya sekarang kelas lima SD dan yang sulung kelas
dua SMU. Sementara istri Pak Utomo bekerja sebagai buruh cuci dan menjual
barang-barang sehari-hari di rumah kontrakan mereka.
Bisa
dibilang kehidupan keluarga Pak Utomo demikian bersahaja. Kendati amat sulit
hidup di Jakarta, bayangkan saja berapa sih pendapatan sebagai tukang sampah?
Ia selalu tersenyum ramah saat bertugas mengangkut sampah kami. Bahkan
secara tidak langsung tukang sampah seperti Pak Utomo ini adalah pahlawan bagi
kita lho. Bayangkan saja ancaman penyakit dari sampah yang mereka angkut.
Apalagi Pak Utomo tak menggunakan perlengkapan yang memadai seperti masker,
sepatu boot serta sarung tangan saat mengangkut sampah. Perlengkapannya
sehari-hari ya cuma gerobak sampah, baju sehari-hari serta sendal jepit saja
setiap ia berkeliling kompleks.
Di
hari kelima, akhirnya Pak Utomo mulai mengangkut sampah kami. Spontan,
tetangga-tetanggaku yang rajin berceramah itu mengerubuti Pak Utomo meminta
penjelasannya.
"Gimana sih Pak? Kemana aja
empat hari ini? Sampah dah numpuk, Tau!"
"Iya sih pak. Anakku kan
bisa sakit gara-gara sampah!'
'Bau banget pak. Sekarang aja
lalatnya udah banyak banget, lihat aja tuh!"
Pak Utomo tetap tenang, tapi
perlahan air mata mengalir di pipinya. Ini pertama kalinya kami melihat ia
menangis. Sontak ibu-ibu terdiam melihat air mata Pak Utomo.
"Mohon maaf ibu-ibu. Saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Istri saya meninggal dunia di kampung. Dia
sudah lama sakit. Saya mohon maaf karena baru bisa kembali mengangkut sampah
sekarang."
Mendengar
jawaban itu kami semua terkejut dan terpana. Kemarahan ibu-ibu sontak berubah menjadi
simpati kepada Pak Utomo. Akhirnya setelah melalui rapat kilat, warga satu
komplek yang terdiri dari beberapa RT sepakat memberikan sumbangan kepada Pak
Utomo. Mungkin tak seberapa, tapi setidaknya bisa membantu meringankan
bebannya. Bak disadarkan ada beberapa tetangga yang memberikan bantuan
buat dua orang anak Pak Utomo. Seperti layaknya orang tua asuh, mereka sepakat
untuk membantu biaya anak-anak itu hingga lulus SMU. Selama ini kami
semua tak pernah menyadari betapa berjasanya seorang tukang sampah. Coba kalau
tak ada Pak Utomo, bisa-bisa banyak keluarga yang terkena penyakit dan
terganggu kesehatannya. Terimakasih Pak Utomo, baru kini aku, keluarga dan
warga satu komplek menyadari kalau tukang sampah juga pahlawan tanpa tanda jasa
juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar